Setiap tanggal duapuluh bulan kesepuluh dalam penanggalan Sasak atau lima hari setelah bulan purnama, menjelang fajar di pantai Seger Kabupaten Lombok Tengah selalu berlangsung acara menarik yang dikunjungi banyak orang termasuk wisatawan. Kali ini, acara tersebut selama tiga hari, 7-9 Maret 2007. Acara yang menarik itu bernama Bau Nyale. Bau dari bahasa Sasak artinya menangkap. Sedangkan Nyale, sejenis cacing laut yang hidup di lubang – lubang batu karang di bawah permukaan laut.
Penduduk setempat mempercayai Nyale memiliki tuah yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan mudarat bagi orang yang meremehkannya.”Itulah yang berkembang selama ini,” ujar seorang warga Lombok Tengah.
Tradisi menangkap Nyale (bahasa sasak Bau Nyale) dipercaya timbul akibat pengaruh keadaan alam dan pola kehidupan masyarakat tani yang mempunyai kepercayaan yang mendasar akan kebesaran Tuhan, menciptakan alam dengan segala isinya termasuk binatang sejenis Anelida yang disebut Nyale. Kemunculannya di pantai Lombok Selatan yang ditandai dengan keajaiban alam sebagai rahmat Tuhan atas makhluk ini.
Beberapa waktu sebelum Nyale keluar hujan turun deras dimalam hari diselingi kilat dan petir yang menggelegar disertai dengan tiupan angin yang sangat kencang. Diperkirakan pada hari keempat setelah purnama, malam menjelang Nyale hendak keluar, hujan menjadi reda, berganti dengan hujan rintik-rintik, suasana menjadi demikian tenang, pada dini hari Nyale mulai menampakkan diri bergulung-gulung bersama ombak yang gemuruh memecah pantai, dan secepat itu pula Nyale berangsur-angsur lenyap dari permukaan laut bersamaan dengan fajar menyingsing di ufuk timur.
Dalam kegiatan ini terlihat yang paling menonjol adalah fungsi solidaritas dan kebersamaan dalam kelompok masyarakat yang dapat terus dipertahankan karena ikut mendukung kelangsungan budaya tradisional.
Keajaiban Nyale bagi suku Sasak Lombok telah menimbulkan dongeng tentang kejadian yang tersebar hampir keseluruh lapisan masyarakat Lombok dan sekitarnya. Dongeng ini sangat menarik dengan cerita yang sangat romantis dan berkembang melalui penuturan orang-orang tua yang kemudian tersusun dalam naskah tentang legenda Nyale.
Menurut dongeng bahwa pada zaman dahulu di pantai selatan Pulau Lombok terdapat sebuah kerajaan yang bernama Tonjang Beru. Sekeliling di kerajaan ini dibuat ruangan – ruangan yang besar. Ruangan ini digunakan untuk pertemuan raja-raja. Negeri Tonjang Beru ini diperintah oleh raja yang terkenal akan kearifan dan kebijaksanaannya, Raja itu bernama raja Tonjang Beru dengan permaisurinya Dewi Seranting.
Baginda mempunyai seorang putri, namanya Putri Mandalika. Ketika sang putri menginjak usia dewasa, amat elok parasnya. Ia sangat anggun dan cantik jelita. Matanya laksana bagaikan bintang di timur. Pipinya laksana pauh dilayang. Rambutnya bagaikan mayang terurai. Di samping anggun dan cantik ia terkenal ramah dan sopan. Tutur bahasanya lembut. Itulah yang membuat sang putri menjadi kebanggaan para rakyatnya.
Semua rakyat sangat bangga mempunyai raja yang arif dan bijaksana yang ingin membantu rakyatnya yang kesusahan. Berkat segala bantuan dari raja rakyat negeri Tonjang Beru menjadi hidup makmur, aman dan sentosa. Kecantikan dan keanggunan Putri Mandalika sangat tersohor dari ujung timur sampai ujung barat pulau Lombok. Kecantikan dan keanggunan sang putri terdengar oleh para pangeran-pangeran yang membagi habis bumi Sasak (Lombok). Masing – masing dari kerajaan Johor, Lipur, Pane, Kuripan, Daha, dan kerajaan Beru. Para pangerannya pada jatuh cinta. Mereka mabuk kepayang melihat kecantikan dan keanggunan sang putri.
Mereka saling mengadu peruntungan, siapa bisa mempersunting Putri Mandalika. Apa daya dengan sepenuh perasaan halusnya, Putri Mandalika menampik. Para pangeran jadi gigit jari. Dua pangeran amat murka menerima kenyataan itu. Mereka adalah Pangeran Datu Teruna dan Pangeran Maliawang. Masing-masing dari kerajaan Johor dan kerajaan Lipur. Datu Teruna mengutus Arya Bawal dan Arya Tebuik untuk melamar, dengan ancaman hancurnya kerajaan Tonjang Beru bila lamaran itu ditolaknya. Pangeran Maliawang mengirim Arya Bumbang dan Arya Tuna dengan hajat dan ancaman yang serupa.
Putri Mandalika tidak bergeming. Serta merta Datu Teruna melepaskan senggeger Utusaning Allah, sedang Maliawang meniup Senggeger Jaring Sutra. Keampuhan kedua senggeger ini tak kepalang tanggung dimata Putri Mandalika, wajah kedua pangeran itu muncul berbarengan. Tak bisa makan, tak bisa tidur, sang putri akhirnya kurus kering. Seisi negeri Tonjang Beru disaput duka.
Kenapa sang putri menolak lamaran, karena selain rasa cintanya mesti bicara, ia juga merasa memikul tanggung jawab yang tidak kecil. Akan timbul bencana manakala sang putri menjatuhkan pilihannya pada salah seorang pangeran. Dalam semadi, sang putri mendapat wangsit agar mengundang semua pangeran dalam pertemuan pada tanggal 20 bulan 10 ( bulan Sasak ) menjelang pagi-pagi buta sebelum adzan subuh berkumandang. Mereka harus disertai oleh seluruh rakyat masing-masing. Semua para undangan diminta datang dan berkumpul di pantai Kuta. Tanpa diduga-duga enam orang para pangeran datang, dan rakyat banyak yang datang, ribuan jumlahnya. Pantai yang didatangi ini bagaikan dikerumuni semut.
Ada yang datang dua hari sebelum hari yang ditentukan oleh sang putri. Anak-anak hingga kakek-kakek pun datang memenuhi undangan sang putri ditempat itu. Rupanya mereka ingin menyaksikan bagaimana sang putri akan menentukan pilihannya. Pengunjung berduyun-duyun datang dari seluruh penjuru pulau Lombok. Merekapun berkumpul dengan hati sabar menanti kehadiran sang putri.
Betul seperti janjinya. Sang putri muncul sebelum adzan berkumandang. Persis ketika langit memerah di ufuk timur, sang putri yang cantik dan anggun ini hadir dengan diusung menggunakan usungan yang berlapiskan emas. Prajurit kerajaan berjalan di kiri, di kanan, dan di belakang sang putri. Sungguh pengawalan yang ketat. Semua undangan yang menunggu berhari-hari hanya bisa melongo kecantikan dan keanggunan sang putri. Sang putri datang dengan gaun yang sangat indah. Bahannya dari kain sutera yang sangat halus. Tidak lama kemudian, sang putri melangkah, lalu berhenti di onggokan batu, membelakangi laut lepas. Disitu Putri Mandalika berdiri kemudian ia menoleh kepada seluruh undangannya. Sang putri berbicara singkat, tetapi isinya padat, mengumumkan keputusannya dengan suara lantang dengan berseru : ”Wahai ayahanda dan ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tonjang Beru yang aku cintai. Hari ini aku telah menetapkan bahwa diriku untuk kamu semua. Aku tidak dapat memilih satu diantara pangeran. Karena ini takdir yang menghendaki agar aku menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut.” Nyale.
Bersamaan dan berakhirnya kata-kata tersebut para pangeran pada bingung rakyat pun ikut bingung dan bertanya-tanya memikirkan kata-kata itu. Tanpa diduga-duga sang putri mencampakkan sesuatu di atas batu dan menceburkan diri ke dalam laut yang langsung di telan gelombang disertai dengan angin kencang, kilat dan petir yang menggelegar.
Tidak ada tanda-tanda sang putri ada di tempat itu. Pada saat mereka pada kebingungan muncullah binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak yang kini disebut sebagai Nyale. Binatang itu berbentuk cacing laut. Dugaan mereka binatang itulah jelmaan dari sang putri. Lalu beramai-ramai mereka berlomba mengambil binatang itu sebanyak-banyaknya untuk dinikmati sebagai rasa cinta kasih dan pula sebagai santapan atau keperluan lainnya.
Itulah kisah Bau Nyale. Penangkapan Nyale menjadi tradisi turun-temurun di pulau Lombok. Pada saat acara Bau Nyale yang dilangsungkan pada masa sekarang ini, mereka sejak sore hari mereka yang akan menangkap Nyale berkumpul di pantai mengisi acara dengan peresean, membuat kemah dan mengisi acara malam dengan berbagai kesenian tradisional seperti Betandak (berbalas pantun), Bejambik (pemberian cendera mata kepada kekasih), serta Belancaran (pesiar dengan perahu). Dan tak ketinggalan pula, digelar drama kolosal Putri Mandalika di pantai Seger.
Warga masyarakat yang datang ke pantai Seger untuk ikut melaksanakan upacara Bau Nyale datang dengan menggunakan kendaraan. Nyale bagi penduduk Lombok Selatan dengan lahan persawahan tadah hujan merupakan benda rahmat Tuhan yang bisa digunakan sebagai tanda keberhasilan panen yang memuaskan.
Tradisi Bau Nyale sebagai bagian dari legenda Putri Mandalika di Lombok. Di sana warga dari sekeliling Lombok berdatangan sejak malam sebelum acara Bau Nyale di mulai.
Lalu Wirekarme yang pernah menjabat Kepala Sub Dinas Pemasaran Dinas Pariwisata Lombok Tengah, menjelaskan bahwa acara ini sebenarnya sudah berlangsung turun temurun secara alami. Namun, setelah berkembangnya pariwisata di Lombok, kemeriahan pun semakin dipoles adanya atraksi tambahan berupa pementasan drama kolosal Putri Mandalika yang dihadiri oleh pejabat lokal hingga provinsi Nusa Tenggara Barat bahkan tidak sedikit yang datang dari Jakarta.
Bau Nyale ada di 16 pantai yang memanjang sejauh 72 kilometer dari arah timur hingga ke barat di selatan Lombok Tengah. Utamanya dilaksanakan di pantai Seger dan sekitarnya. Pantai obyek pariwisata yang potensial di Nusa Tenggara Barat. Keindahan pantai ini membuat hati para wisatawan menjadi kagum melihat segala pemandangan alamnya. Perairan di sekitar pantai Kuta hingga pantai Tanjung Aan sangat cocok untuk berenang. Pantai ini terletak di bagian selatan pulau Lombok, kira-kira 54 kilometer tenggara kota Mataram. Suasananya tenang senyap menyambut langkah-langkah diantara pasir putih halus-bagaikan merica yang membentang dari ujung barat ke ujung timur dengan puluhan kawasan wisata mulai dari pantai Ujung Kelor yang berbatasan dengan Lombok Timur, hingga pantai Pengantap di Lombak Barat.
Seperti biasanya, dipadati ribuan kaum muda setelah menungguinya di tengah hujan deras sepanjang malam. Mereka yang rela menahan dingin dan kantuk di Pantai Seger di Desa Kuta Kecamatan Pujut dalam kawasan PT Pengembangan Pariwisata Lombok tersebut yang datang tidak hanya dari warga desa di Kecamatan Pujut saja. Tetapi juga para muda-mudi dari Mataram dan Praya yang datang mengendarai ratusan mobil.Pantai Seger yang kini lebih dikenal dengan pantai Putri Nyale ini pun dilengkapi oleh lereng-lereng yang terjal dari bukit yang berbatasan dengan bibir pantai. Sungguh, alam mempesona. Di pantai selatan itulah hidup dan tersebar suatu legenda sehubungan dengan adanya Nyale (sejenis cacing laut) yang muncul satu kali dalam setahun.
Nyale ditangkap di beberapa tempat di pantai selatan pulau Lombok antara lain di pantai Kaliantan, Kuta, Selong Belanak, Mawun. Lokasi yang terbaik dikunjungi wisatawan adalah pantai Seger desa Kuta dengan kondisi prasarana yang cukup memadai. Nyale pada melakukan pembuahan muncul di permukaan laut yang dimulai pada waktu fajar sampai sebelum matahari terbit. Munculnya Nyale di permukaan laut pada saat menjelang fajar yang disinari oleh rembulan membawa keindahan yang menarik dan merangsang para nelayan untuk menangkap Nyale dan lama kelamaan menjadi tradisi budaya. Munculnya Nyale dipermukaan laut terjadi setiap tahun sekitar bulan Februari.
Secara ilmiah, cacing Nyale yang pernah diteliti mengandung protein hewani tinggi sekali. Pernah dijelaskan oleh penelitinya, Dr dr Soewignyo Soemohardjo, cacing Nyale ini telah diketahui mengeluarkan suatu zat yang sudah terbukti bisa membunuh kuman-kuman. Dari sebuah laporan survey aspek sosio budaya Nyale, diketahui 70,6 persen responden membuang daun bekas pembungkus Nyale ke sawah supaya hasil tanaman padi akan melimpah ruah dan memberi tahu tanaman padi bahwa nyale telah selesai ditangkap yang berarti hujan akan berhenti.
Selama ini masyarakat menjadikan masakan pes atau dikukus dan dibungkus daun. Masyarakat juga meyakini apabila Nyale keluar banyak menandakan pertanian berhasil. Lombok Selatan selama ini dikenal sebagai daerah kritis karena tidak adanya irigasi. Sawah di sana tadah hujan. Jadi kalau hujan banyak barangkali salinitas air memungkinkan untuk populasinya berkembang, diyakini tanaman padinya berhasil